Selasa, 16 Desember 2008

BUAT APA SHOLAT

Suatu hari seorang sahabat pernah bertanya "Buat apa sholat?"
Sebagai seorang muslim sebetulnya saya prihatin dengan celetukan seperti itu, tapi sebagai seorang sahabat adalah kewajiban kita untuk memberi pengertian tanpa maksud menggurui, maka sayapun bertanya kembali "Maksudnya?".
Rupanya pertanyaan sahabat saya itu bukan pertanyaan pendek, masih ada komanya yang bila diteruskan kesimpulannya adalah buat apa sholat kalau perilaku kita tidak mencerminkan kebaikan, masih banyak diantara kita yang sholat tapi masih melakukan keburukan yang tidak mencerminkan seorang muslim, sementara kita bisa melihat juga orang yang sholatnya "ogah-ogahan" atau bahkan non muslim memiliki perilaku yang baik bak "seorang muslim" . Lho .... ?
Bila hati terbuka penjelasan dari Alquran dan Hadist tentu sudah cukup, masalahnya adalah memberi pengertian sikap sahabat saya yang sangat skeptis terhadap sholat haruslah dengan bahasa yang mudah dicerna, mungkin juga dengan bahasa yang bisa diterima akal sehatnya, karena mungkin hatinya masih terselimuti kabut keraguan.
Sebetulnya kalau kita mau jujur prasangka "nyleneh" sahabat saya itu ada benarnya. Selama ini kebanyakan kita sholat hanya sebagai "kewajiban ritual" yang harus dilaksanakan dan sebagai "kewajiban religi" karena kita berembel-embel islam sejak lahir, tanpa tahu mengapa.
Sebaliknya orang awampun gampang saja menjawab prasangka seperti itu. Coba bayangkan saja sedangkan yang sholat saja masih bisa berperilaku buruk, bagaimana seandainya tidak sholat sama sekali, mungkin "keburukannya" bisa berlipat-lipat banyaknya.
Kesalahan sebagai muslim yang mengerti islam secara mendalam mungkin karena cuma bisa memberi ceramah akan adanya perintah sholat, namun tidak menyentuh esensi kesadaran "mengapa".
Nampaknya kita semua punya kewajiban yang sama sebagai muslim untuk lebih membumi menjelaskan "mengapa".
Sholat berdimensi syukur kita sebagai manusia akan segala nikmat dan rahmat yang kita terima selama ini.
Sholat berdimensi doa kita sebagai manusia yang akan selalu memiliki kebutuhan.
Sholat berdimensi kepatuhan kita sebagai mahluk ciptaan Yang Maha Pencipta.
Sholat berdimensi pengabdian seorang hamba yang menyadari kekurangannya
Sholat adalah kebutuhan ...
Kalau raga kita saja memerlukan energi utuk tetap hidup, maka ruh kita juga memerlukan "energi" untuk tetap mendapat "haknya" sebagai bagian dari milik Yang Memiliki Ruh.
Mungkin lebih baik tidak "mengaduk-aduk" antara perilaku buruk dan kewajiban sholat. Idealnya adalah muslim yang menjalankan sholat dengan baik akan tercermin dari perilakunya, namun Yang Maha Pencipta menciptakan manusia dengan "sangu" ketidak-sempurnaan. Andai seluruh umat manusia ini sudah melakukan sholat, keburukan akan masih tetap ada. Karena sebagai manusia penilaian baik dan buruk kita hanya karena sesuai dengan pikiran dan hati kita sendiri.
Selain itu juga mengapa diciptakan neraka disamping syurga yang nanti pasti berpenghuni. Tentu kita tidak boleh meragukan maksud Yang Maha Bijaksana menciptakan sesuatu tanpa manfaat.
Hudzaifah pernah berkata : "Apa yang pertama hilang dari agama kalian adalah khusyu', dan apa yang paling akhir hilang dari agama kalian adalah sholat, banyak orang sholat tapi tidak ada kebaikan pada mereka, kalian nanti akan masuk masjid dan tidak akan lagi orang khusyu'." (al Madarij 1/521)
Semoga sahabat saya ini mengerti.
Wallohu A'lam Bisshowab ...
Bila ada kebenaran pasti karena Yang Maha Benar, bila ada kesalahan semata-mata karena kita manusia tempatnya.

TAKUT MISKIN DI AKHIRAT

Mengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah melaksanakan shalat wajib lima waktu.
''Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,'' keluh si pemuda.
''Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!'' Jawab sang kiai.
''Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?''
''Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.''
''Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah...'' jawab pemuda itu dengan kesal.
''Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,'' timpal kiai dengan ringan.
Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumah. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi. Dalam tidur itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yng sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda.
''Anda siapa?'' tanya pemuda.
''Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.''
''Ohh... lalu ini istana siapa?''
''Ini istanamu, dari Allah. Karena pekerjaan ibadahmu di dunia.''
''Ohh... dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?''
''Betul!''
''Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?''
''Betul sekali.''
Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang. Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.
'Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,'' kata pemuda penuh keriangan.
''Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.''
''Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?''
''Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.''
''Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,'' ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi demi kekayaan akhirat kelak.