Sabtu, 14 Februari 2009

BAHAGIA MESKIPUN ...

Sahabat saya yang satu ini memang lain, tak ada kemurungan di wajahnya yang selalu ceria, senyumnya sudah menggaris di wajahnya, sehingga tidur sekalipun dia kelihatan tersenyum.
Pada suatu perjumpaan sempat saya tanyakan kenapa dia selalu kelihatan bahagia.
"Ah kamu ada-ada saja, untuk bahagia kan gampang, gak perlu keluarin duit untuk bisa bahagia, kita semua memilikinya".
Sambil merenungi kata sahabat saya ini benar juga, rasanya bahagia itu adalah hak yang menempel pada kita sebagai anugerah Yang Maha Pencipta pada setiap manusia. Hanya kadang-kadang kita tidak sadar bahwa kita memiliki bakat bahagia, tinggal mengeluarkan saja ...
"Bagaimana caranya?"
Begini kata sahabat saya, untuk mengeluarkan bahagia itu bisa karena sebab dari luar dan dari dalam. Yang dari luar, pertama bahagia "karena" hal buruk, ada temen gagal presentasi membuat kita bahagia, ada boss sakit dan gak masuk kerja kita juga bahagia dll ...
Yang kedua adalah bahagia "karena" hal baik. Kita bahagia karena punya istri cantik, kita bahagia karena habis gajian, kita bahagia karena rumah bagus dll ...
Tapi yang terbaik adalah bahagia karena sebab dari dalam kata sahabat saya itu, kita bahagia "meskipun" ... bahagia meskipun uang gaji habis, bahagia meskipun rumah gak terlalu besar, bahagia meskipun istri tidak cantik, bahagia meskipun dll ...
Saya berfikir ah ... teman saya ini pintar juga bicaranya, meskipun benar rupanya memang hanya satu kuncinya ... "syukur".
Apapun yang kita miliki harus disyukuri, itu semua adalah anugerah dari Yang Maha Memiliki, kita harus menghindari paham "perlekatan" dengan hal-hal duniawi.
Segala sesuatu yang bersifat duniawi harus disadari semuannya tidak abadi, dan bukan milik kita, semua hanya titipan Yang Maha Memiliki yang kalau dikehendaki akan diminta kembali kapan saja apa yang sudah dititipkan kepada kita.
Jadi kenapa harus tidak bahagia ?

Wallohu A'lam Bisshowab ...

Jumat, 06 Februari 2009

SAHABAT YANG LELAH

Baru-baru ini sahabat saya kelihatan tak bersemangat, wajahnya berhenti berekspresi, berbicara sedikit, hanya mengangguk bila ditanya.
Sedikit iba saya mencoba bertanya apa gerangan yang membuatnya gundah.

"Saya sangat kecewa dengan hidup, dunia ini ternyata telah membelengguku menjadi orang yang tak berjiwa, hanya memikir dunia, semangatku hanya untuk dunia, hidupku kuabdikan untuk urusan dunia, kemana aku pergi disana urusan dunia mengelilingi, tak ada waktu untuk jiwaku, tak mungkin kuhentikan petualangan dunia ini, aku menyadari sepenuhnya tugasku di dunia untuk hidup bukan untuk mengahirinya".

"Lho ... " terpana seraya bertanya-tanya saya dalam hati, tumben sahabat pendiam saya ini berkata-kata sangat panjang dan sangat terdengar frustasi, baginya urusan dunia memang sangat membelenggu jiwanya.

Sebagian dari kita memang bagian orang lain, bagian pekerjaan, bagian rutinitas, bagian keluarga, bagian bawahan, bagian atasan, bagian kawan, bagian ...
Hampir tak ada bagian yang untuk diri sendiri, apa lagi bagian dari Sang Kholiq.
Pernahkah kita lima menit saja memprioritaskan bagian jiwa kita ... berfikir sebentar saja bahwa semua yang menjadi bagian kita itu pada akhirnya harus kita lepas, pada akhirnya harus kita tinggalkan, pada akhirnya harus "menghianati kesetiaan" kita.

Sahabat saya ini memang tidak "enjoy" dengan hidupnya, bukan dia tak bersyukur, dia hanya merasa berada dalam lingkaran dunia yang mengungkungnya, mungkin itu bukan kemauannya sendiri, karena saya sangat mengerti sifat sahabat saya ini, didalam hatinya dia sangat sedih karena menyadari kekeringannya, seandainya mampu, sahabat saya ini hanya ingin hidup dengan bagian jiwanya.

Wallohu A'lam Bisshowab ...